Senin, 30 November 2009


Tubuh-tubuh bersimbah darah menggelepar, berserakan, dan tumpang tindih memenuhi padang rumput itu. Aku tak tahu mereka telah menjadi mayat atau tidak. Di puncak langit, kusaksikan sendiri seratus ribu serdadu berbaju besi dan berkepala batu menghunus pedang di tangan kiri dan menaruh moncong senapan di atas kepala para perempuan berkerudung warna-warni. Kendati kepala mereka menunduk, mereka tetap mengepalkan tangan kanan mereka dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Bisik hati mereka begitu jelas terdengar, memenuhi langit dengan gema menggelegar, “Allah Maha Besar!”

Sementara itu, para serdadu tetap mengancam dengan berbaris membentuk bintang, dan berdiri tegak sambil menyanyikan lagu The March of The People dengan suara lantang. Dadaku sebak dan sesak. Jika waktu adalah pedang, maka tiba-tiba waktu seperti berhenti menebas segala sesuatu.

Ketika aku terbangun dari mimpi buruk itu, Kepala Biara tengah duduk di samping, memandangiku. Ibu memohon kepadanya agar aku pulang hari itu juga.

Namaku Wang. Dan, Ma, satu dari perempuan berkerudung pelangi itu, adalah kekasihku. Cinta pertamaku. Juga cinta terakhirku.

Kami pertama kali bertemu di padang rumput itu tiga belas tahun lalu. Waktu itu, umur kami baru enam belas tahun. Bunga-bunga liar belum tumbuh dan mekar. Namun, Ma, telah tumbuh dan mekar di padangku.

Sejak mata saling beradu dan bibir saling melempar senyum, kami berdua terjatuh ke dalam Lembah Terlarang. Setiap senja duduk di sana, mengagumi padang rumput itu. Betapa padang rumput itu bagai permadani sutra yang terbentang luas hanya untuk kami.

"Aku bukan gadis Han," katanya suatu senja, seraya mengeluarkan sehelai kain sutra berwarna biru dari balik sakunya.

"Aku juga bukan pemuda Muslim," kataku sambil menatapnya. “Tapi, kata para pujangga, cinta itu buta."

Dia tersenyum, begitu manis, kemudian mengutip sepenggal sajak Li Bai yang terkenal. “Oh, engkau angin musim semi yang mengusik, engkau dan aku tak saling kenal, mengapa tanpa sebab-musabab – menyelinap memasuki tirai dan kelambu?"

Aku tertawa kecil mendengar penggalan sajak itu. Aku merebut kain sutra dalam genggamannya dengan lembut. Aku melipatnya menjadi segitiga, kemudian menyelimuti rambut hitamnya. “Pakailah,” pintaku. “Jika angin bertiup terlalu kencang, rambutmu yang indah tak akan ternoda oleh debu.”

Dia pun membiarkan kepalanya kubungkus kerudung sutra itu. Dan, kami pun duduk cukup lama menunggu bunga-bunga liar tumbuh di padang rumput itu.

Tiga belas tahun kami menunggu. Tetapi, mereka selalu layu sebelum menjadi kuncup. Telapak sepatu para serdadu telah menyebabkan mereka terbunuh. Dan, Ma, letih menunggu. Ketika para serdadu mengusir kami dari Lembah Terlarang, dia memberikan kerudung biru itu untukku. Dia tidak pernah lagi muncul. Sejak saat itulah aku juga pergi, melenceng ke biara, menghancurkan harapan ibu.

Aku masih ingat hari-hari terindah kami ketika Lembah Terlarang seperti surga dan bumi hanya milik kami berdua.

“Padang rumput ini seperti sajadah yang terhampar di rumahmu. Sajadah yang katamu ditenun di negeri kita, lalu dijual di Mekkah,” kataku memandangi padang rumput. Padang rumput kami.

“Kita pun bisa bersujud di sini. Tuhan pasti akan mengabulkan doa kita.”

“Doa apakah yang kaubaca ketika kau bersujud di atasnya? Apakah kau mendoakan aku? ”

Dia tergelak. “Aku bertanya kepada-Nya, apakah boleh aku mengalami reinkarnasi? Aku ingin kita bertemu kembali di tapal batas Dukha, lalu bersama-sama mencapai Nirwana.”

Aku tersenyum. “Kalau begitu, jangan biarkan aku pergi ke Lhasa untuk mencukur habis rambutku, hanya demi melupakanmu. Sebab, aku tak ingin terlahir kembali menjadi bunga liar di padang ini untuk menunggumu.”

Dia tertawa riang, membalas tatapanku. “Baiklah, tak akan kubiarkan kau hidup selibat, kecuali aku telah menjadi pengantinmu.”

Aku tertawa dan mengerling. “Bagaimana kalau Tuhan menjawab pertanyaanmu? Jika kau diperkenankan Tuhan, kau ingin menjadi apa pada kehidupan yang akan datang?”

Dia tersenyum seraya memandang kaki langit. “Aku ingin menjadi eideilweiss,” katanya.

Kemudian, dia menoleh dan menatapku. “Aku ingin abadi di padang bungamu,” bisiknya.

Aku pun teringat sepenggal sajak Du Quiniang. "Menasihatimu...jika bunga sedang mekar, andai boleh dipetik dan disunting, engkau harus memetiknya, jangan tunggu sampai bunga telah tiada, baru sia-sia kau memetik ranting hampa," bisikku.

Wajahnya merah padam. Seperti buah persik yang telah ranum. Aku mengabadikannya dalam benakku.

Malam yang gelap dan pekat telah membawaku jauh ke dalam sebuah lorong, bangsal-bangsal yang suram, aroma-aroma kimiawi yang menyengat hidung, dan suara samar-samar yang merintih.

“Siapa itu?” Desahnya terlalu pelan begitu mendengar suara kakiku melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Aku memandangi wajahnya. Dia telah benar-benar-benar memucat pada saat itu. Tetapi, aku masih mengaguminya. Mengagumi senyuman yang masih menghiasi bibirnya. Bibir yang masih merah jambu. Seperti masih tersisa sekuntum mawar merah pada wajahnya yang tampak semakin membeku, diliputi selapis demi selapis salju.

“Wang Wei. Kau datang.” Burung-burung camar seperti keluar dari dalam jiwanya. Terbang. Bermigrasi ke belahan bumi lain yang lebih hangat.

Aku mengutip kembali penggal pertama sajak Rindu di Musim Semi-nya Li Bai. Sajak yang pertama kali dia kutip untukku. “Oh, rumput musim semi tanah Yan, baru hijau tua seperti sutera; sementara pohon murbeiku di tanah Qin, terlebih dulu merunduk berat, tangkai lunaknya hijau muda. Ketika hari-hari engkau rindu kembali rumah, hari-hariku jua rindu dendam padamu. Oh, engkau musim semi…”

“Kau benar-benar mencukur rambutmu. Tak tersisa sehelai pun untuk aku,” lirihnya. Aku masih memandangi wajahnya. Dia semakin pucat, membiru, memutih, lalu menjadi begitu kelabu. Dan, aku masih juga mengaguminya. Mengagumi matanya yang masih bersinar-sinar. Seperti masih ada bintang terang di sana, menggantung di langit, di antara gumpalan awan kelabu.

Aku tertawa pelan, menatapnya dalam-dalam, dan menggenggam tangannya erat-erat. “Tidak. Aku menyimpan sehelai untukmu dalam kerudung biru darimu.”

“Maafkan aku.” Dia merintih dan balas menatapku. Kami saling memandang, membiarkan waktu berhenti seketika dalam keheningan.

“Mengapa para serdadu ingin merampas sajadahku? Mengapa mereka ingin merampas tasbih di tanganmu?" gumamnya tiba-tiba. Dia menoleh, mengamati butir-butir tasbih yang kukalungkan di leher.

"Nenek moyang mereka dan kita berdua sama," gurauku.

“Temujin?” tawanya berderai.

“Kalau saja kita bisa punya anak laki-laki, aku pasti akan memberinya nama Zheng-he.”

Dia tertawa lirih. “Kau seharusnya menjadi Kaisar Ming pertama. Aku akan menjadi permaisurimu. Bayangkan, kita berdua duduk di atas singgasana, dikelilingi para pendekar dan para hulubalang, dengan diberkati para biksu dan ulama.” Aku melihat padang rumput kami di matanya. Lembah Terlarang begitu lapang tanpa para serdadu bersenjata laras panjang.

“Tetapi, aku berjanji, aku tidak akan mempunyai selir,” gurauku lagi. Aku melihat padang rumput kami pelan-pelan berbunga di mata dan bibirnya.

“Kau tahu. Aku ingin hidup abadi. Seperti edelweiss. Kalau pun tidak, aku ingin terlahir kembali. Menemanimu menunggu padang rumput kita menumbuhkan bunga-bunga. Melahirkan anak-anakmu. Tak peduli seperti apa wajah mereka, atau bendera apa yang mereka kibarkan. Melihat mereka bermain di padang bunga kita.”

“Aku akan membiarkan seluruh rambut di kepalaku tumbuh kembali demi menunggumu di padang rumput itu."

Dia tersenyum. “Kalau aku mati, aku akan merindukanmu. Bagaimana denganmu? Kitab suciku bilang, aku tidak akan benar-benar mati. Aku masih hidup dan berkeliaran, hanya saja kau tak bisa melihatku lagi.”

“Aku tidak ingin kau mati. Aku tidak ingin merindukanmu.” Mungkin, suaraku terdengar hampa.

Ma berbisik dengan tersenyum, “Hari ini adalah hari terakhir kita. Aku bilang pada-Nya, biarkan menunggumu datang.”

Kutahan air mataku, kugenggam erat tangannya. “Kau percaya pada-Nya. Kau pasti akan sembuh. Luka-lukamu akan pulih kembali. Dan, Dia akan memberikanmu kehidupan yang panjang di dunia ini.”

Ma tersenyum. “Apakah para raja tidak pernah merasa puas dengan luas kebun dan hutan yang mereka miliki?”

“Jika tidak, maka Tembok Besar tak perlu dibangun.”

“Dan, kami tak perlu menuntut untuk menatap langit dengan cara kami sendiri.”

“Ya. Seperti kau.”

“Seperti orang-orang Kurdi yang tersesat di negeri sendiri. Seperti orang-orang Rohingya yang diusir dari kampung halaman sendiri. Seperti orang-orang Patani yang tak punya raja di kerajaan sendiri. Seperti...”

“Seperti aroma tubuhku. Apakah kau tak menghirup sisa nafas Dalai Lama pada kainku?” tukasku.

Ma tersenyum lebar. “Boddhisatva-ku. Jika kau lebih dulu mati, apakah kata-kata terakhirmu?”

Aku terdiam, berusaha menerobos masuk ke dalam matanya. “Aku mencintaimu.” Bunga-bunga seperti keluar dari mulutku. Mereka mengecup bibir Ma yang merah jambu.

Ma terdiam. Mungkin puas mendengar jawabanku. Lalu, dia merintih beberapa kali. Tidak lama kemudian Ma memejamkan matanya tanpa berkata sepatah kata apapun. Dia hanya menggenggam erat tanganku. Dia hanya tersenyum sebentar, sebelum benar-benar terlelap.

Aku menyusuri lorong yang gelap lagi, aroma-aroma kimiawi yang memabukkan isi perutku, dan dinding-dinding suram sepanjang koridor yang seolah-olah selalu berbisik kepadaku, mengabarkan datangnya malaikat-malaikat pencabut nyawa. Seperti yang diyakini Ma seumur hidupnya. Mereka ada di mana-mana di sekitar situ. Salah satunya mungkin akan pergi ke sisi Ma. Aku berlari ketakutan, benar-benar ketakutan, membiarkan kakiku masuk ke dalam sebuah ruangan terang-benderang. Nama-nama Tuhan yang Maha Indah diukir di sana. Aku menangis ketakutan. Benar-benar menangis. Memohon dengan perasaan nyaris putus asa.

“Allah, Tuhan kekasihku, jangan ambil kekasihku sekarang. Dia masih muda. Dia masih bisa melahirkan sepuluh orang putra dan dengan begitu darahnya tidak akan mengalir sia-sia…”

“Mengapa kau tidak pernah mencariku lagi, malah pergi mengembara dari puncak ke puncak di Himalaya?” Terngiang-ngiang kembali suara Ma pada hari kedua kami di sempadan dua alam

“Aku mengembara dan mengumpulkan puisi-puisi yang indah untukmu.”

“Seandainya para raja dan serdadu setiap hari mendengar para penyair membaca sajak cinta.”

“Aku masih ingat puisi Sa’di yang pernah kaubacakan untukku.”

“Para penyair Sufi mengagumi orang-orang seperti engkau.”

Aku tersenyum. Kukutip sepenggal paragraf dari Gulistan. “Sebuah taman yang hijau sangat menyenangkan. Dia yang benar-benar memahami akan mengatakan hal itu. Sesungguhnya rasa tertarik dan cinta pada hamparan hijau, akan selalu memuaskan hati pencinta; Tamanmu adalah tempat tidur yang nyaman. Semakin engkau melebarkan, semakin mereka akan tumbuh.”

Dia tersipu. “Tidurlah, dan jangan kembali bertapa di dalam gua.”

“Hanya jika kau mau kembali ke Lembah Terlarang.”

“Kakekku telah gugur dengan sebutir peluru di kepalanya. Dia adalah putra dari para kekasih di Lembah Terlarang seperti kita,” kenangnya.

“Seorang Cina sejati yang selalu mengenakan tutup kepala dari Mekkah,” gumamku, ikut mengenang wajah tua renta yang separuh darahnya mengaliri tubuh kekasihku. Dia adalah anggur dalam cawan dengan campuran anggur dari kebun-kebun di setiap penjuru Cina.

“Dia mencintai seorang wanita Uyghur seumur hidupnya. Nenekku. Hari itu, mereka berdua berdiri dengan gagah tanpa perisai antipeluru, tanpa senjata,” ujarnya.

“Sejak Tuhan menciptakan Lembah Terlarang, leluhurku telah berpindah-randah, seluruh Cina dan Asia Tengah. Tetapi, Xin Jiang selalu menjadi kampung halaman kami. Kami akan selalu kembali. Meski Jalan Sutra telah menjadi kenangan. Meski anak-cucu kita telah lupa bahwa mereka tidaklah murni berdarah Han atau Hui, Chin atau Mongol, Manchu atau Salar, Buryat atau Uzbekh, tidak, tidak. Untuk itulah Lembah Terlarang ada.”

“Kalau begitu, biarkanlah perjalananmu berakhir di sini. Bersamaku. Aku pun tak akan kemana-mana lagi. Aku telah kembali hanya untukmu.”

Dia tersenyum. “Seperti kata Sa’di juga. Aku tidak bisa menunda perjalanan lain yang telah menungguku.”

Jendela-jendela yang tadi ia buka, tiba-tiba ia tutup lagi. Kemuraman yang sejenak memudar, terbit kembali pada suaranya. Kami saling diam membisu. Aku tidak mau membantahnya untuk saat sekarang. Aku merasa lebih baik membelai rambutnya. Memandangi matanya yang masih bercahaya. Menatap bibirnya yang masih merah.

Aku kembali menyusuri lorong dalam kegelapan malam, koridor yang muram, kembali mencium bau obat-obatan, formalin, disinfektan, semua aroma penderitaan dan kematian itu. Samsara.

Di ujung lorong, aku duduk, sendirian, membuka halaman demi halaman kitab Sutra Hati. Dalam kemuraman dinding-dinding di lorong ini, kedukaan dalam ratapan di langit-langit bangsal ini, dan keheningan di ruangan penuh kaca ini. Aku cemas, menunggu para dokter dan para perawat menolong Ma menghadapi komplikasi pascaoperasi. Beberapa peluru telah melubangi tubuhnya, tetapi dia dapat bertahan hidup sampai aku muncul.

“Wang Wei? Kaukah itu?” Sebuah suara memanggilku dari kejauhan. Sosok itu kemudian mendekat.

“Kapan kau akan ditahbiskan?” tanyanya.

“Dokter Li.” Aku menatap sahabat lamaku itu dengan penuh harap. “Bagaimana keadaannya?”

Dia mendesah. “Kau pernah dengar, mereka percaya bahwa orang-orang yang membela tanah air dan gugur, maka mereka yang gugur itu hidup bahagia di surga?”

Aku mengangguk. Aku kehilangan kata-kata.

“Kau sudah dengar bencana alam di Yunnan?”

Aku menggelengkan kepala.

“Setiap kali bumi memuntahkan peluru ke langit, dan para serdadu merenggut nyawa orang-orang tak berdosa, langit kehilangan cahayanya, dan bumi menjerit meratapi kematian mereka,” jawabnya dengan suara tercekat.

Oh! Jernih sekali dalam ingatanku. Tuhannya telah menjemputnya pada subuh itu. Jumat yang sunyi dan lengang. Dengan setetes embun di bibirnya yang merah jambu, dan sebongkah es pada kedua belah tangannya, nyawanya menguap di udara, meninggalkan jejak bau wangi edelweiss. Keberaniannya, keberanian kakek dan neneknya, mengingatkan aku pada saudara-saudaraku di Myanmar. Betapa hari itu bagiku langit dan bumi ikut bersenandung paritha bersamaku.

“Sayangku, kita lahir pada zaman yang gila, silsilah yang kacau-balau, dan negeri yang terlalu sempit untuk satu setengah milyar anak-cucu Adam. Kalau tidak, kau pasti masih hidup. Dan kita bisa bercinta seperti kekasih-kekasih yang lain.” Aku bergumam. Kupandangi tanah makamnya yang masih basah dan bertabur bunga-bunga.

“Sa’di bilang, Jika Majnun dan Laila hidup lagi. Mereka mungkin akan tertarik dengan dongeng cinta yang terjadi saat ini. Dan, biar kukatakan padamu, aku tak peduli. Sekali pun jika Romeo dan Juliet lahir kembali di tengah-tengah Palestina dan Israel. Atau Khusraw dan Shirin menjelma kembali di antara ledakan bom di Irak dan Afghanistan.” Aku berteriak tanpa suara. Aku menjerit tanpa lengkingan.

Hari itu, setelah semua orang meninggalkan tanah pemakaman semua korban kerusuhan, aku kembali ke padang rumput tempat kami biasa menghabiskan senja. Berdiri dari kejauhan sudah cukup bagiku untuk memandangi padang rumput kami berdua.

“Kita akan hidup bersama-sama di kehidupan yang akan datang,” seruku pada sekalian alam. Harum edelweiss tiba-tiba menyeruak, menggantikan aroma bahan-bahan kimia yang masih melekat pada kainku. Aroma yang seharian membuatku ingin muntah. Betapa harum semerbak itu membuatku segar kembali.

Kupandangi padang rumput kami dengan mata berbinar-binar. Betapa menakjubkan! Bunga-bunga liar beraneka warna telah tumbuh di sana.

“Itu padang bunga kita, Wang Wei. Padang Bunga Wang dan Ma.” Terngiang-ngiang kembali senandung cerianya. Kupandangi hamparan padang bunga kami dengan membayangkan wajahnya. Kerudung birunya. Mata sipit Bortu yang diwarisinya. Hidung mancung Shahrabanu yang diwarisinya. Bibir merah delimanya, yang tak pernah kucicipi kelezatannya. Mungkin seperti daging panggang yang telah lama haram bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar