Senin, 30 November 2009


Berdiri di atas awan, merasakan angin sejuk berhembus kencang, dan memandang megahnya Gunung Sumbing. Cakrawala terlihat tak berbatas, di tengah rimbunnya bunga Edelweiss. Sensasi tersebut kami rasakan ketika mendaki Gunung Sindoro.”


Gunung Sindoro, juga dikenal dengan nama Sundoro, yang berada di Kabupaten Temanggung, memiliki ketinggian sekitar 3.153 mdpl. Di hadapannya, kokoh berdiri Gunung Sumbing. Kedua gunung ini hanya dipisahkan oleh jalan raya yang menghubungkan Kota Wonosobo dan Kota Temanggung. Oleh karena itu, akses menuju kedua gunung ini sangat mudah. Dari kota Jakarta, dapat menggunakan bus dengan tujuan Temanggung, atau Wonosobo. Dan Dilanjutkan dengan naik bus kecil jurusan Wonosobo-Temanggung-Magelang.



Memulai Perjalanan
Untuk mendaki Gunung Sindoro, pertama-tama anda harus melaporkan diri di Basecamp di Desa Kledung. Jika naik bus dari Wonosobo, desa ini berada di sisi kiri jalan. Desa Kledung terkenal dengan perkebunan tembakaunya. Jika anda datang ke desa ini saat masa panen, hampir di setiap teras rumah terdapat daun tembakau yang sedang dikeringkan. Registrasi di basecamp tidaklah rumit. Anda hanya diharuskan untuk mengisi registrasi, membayar biaya sebesar Rp. 3.000, dan meninggalkan tanda identitas.

Air adalah hal yang sangat vital dalam pendakian Sindoro. Hal ini dikarenakan tiadanya sumber mata air hingga ke puncak. Oleh karena itu anda disarankan untuk menyetok persediaan air sebanyak mungkin dari basecamp. Trik lain untuk menghemat air adalah berjalan pada malam hari, sebab Gunung Sindoro terkenal gersang, ditambah dengan trek ladang tembakau yang tidak terlindung pohon.

Tahap pertama pendakian adalah melalui jalan setapak Desa Kledung menuju perkebunan tembakau. Memasuki lahan tembakau, jika anda beruntung, anda sudah dapat menyaksikan kemegahan Gunung Sindoro di depan mata. Penulis sendiri memulai pendakian saat maghrib. Suasana sudah gelap dan tidak terlihat apa-apa. Bahkan kabut dan hujan deras sempat turun menemani perjalanan kami di ladang tembakau. Trek ladang tembakau cukup panjang dan membosankan. Kondisinya landai dan jalannya tertata rapi oleh batu-batu, sebab biasa dipakai mobil pick-up untuk memanen tembakau. Bahkan jika beruntung, anda bisa menumpang naik mobil pick-up tersebut hingga ujung perkebunan atau bahkan ke Pos I.



Awal Pendakian
Dari ujung perkebunan menuju pos I, vegetasi sudah mulai berupa semak, namun jalur masih terbilang landai. Total bila berjalan kaki dari desa hanya memakan waktu sekitar 1 jam. Pos I hanyalah sebuah shelter kecil di samping jalur dan hanya dapat memuat dua tenda dome berukuran sedang.



Sedikit tips jika anda melakukan pendakian malam, jalur dari Pos I menuju Pos II sering menyesatkan sebab terdapat persimpangan. Jalur yang benar adalah jika menemui jalur yang sedikit menurun. Penulis sempat was-was karena jalur menurun. Tapi tak lama setelah jalur menurun, jalurnya menanjak kembali dan menghilangkan rasa was-was kami.

Setelah sekitar 1,5 jam perjalanan dari Pos I, kami sampai di Pos II. Pos II ini hampir sama seperti Pos I, hanya ada shelter di pinggir jalan yang ukurannya pun hampir sama dengan di Pos I. Hanya saja, keadaannya lebih mengkhawatirkan, dimana lebih reyot, dan banyak atap sengnya yang terlepas. Disini, keadaannya sudah mulai rimbun dengan pepohonan.

Perjalanan baru terasa mendaki gunung selepas Pos II. Jalanan mulai menanjak terjal. Vegetasi cemara dan kaliandra mulai mendominasi. Di jalur ini, ketika anda menemukan sebuah batu besar yang seperti tembok besar, disitulah tanda dimulainya trek batu. Trek ini sangat terjal dan menguras tenaga dibanding sebelumnya. Beruntung kami bergerak di malam hari sehingga teriknya matahari tidak terlalu menguras tenaga. Hanya saja, kami harus tetap bergerak, atau dinginnya angin malam akan menusuk tulang. Setelah 3 jam perjalanan dari Pos II, saat itu sekitar pukul 11 malam, kami sampai juga di Pos III.

GUNUNG Tambora dengan ketinggian hanya 2.851 mdpl (meter di atas permukaan laut) mampu memikat hati para pendaki dengan pesona alamnya yang sangat unik. Lebar kawah Gunung Tambora tujuh kilometer, keliling kawah 16 kilometer, dan kedalaman kawah dari puncak sampai dasar kawah kedalaman 800 meter, sehingga kawah Gunung Tambora terkenal dengan The Greatest Crater in Indonesia (Kawah Terbesar di Indonesia) akibat dari adanya letusan terdahsyat di dunia terkenal dengan The Largest Volcanic Eruption in History. Selain itu keindahan Gunung Tambora lainnya adalah padang pasir luas di sepanjang bibir kawah yang ditumbuhi bunga Edelweiss kerdil sekitar 0,5 meter sampai 1,5 meter dengan jarak masing-masing berjauhan sekitar dua meter sampai 100 meter. Juga adanya keindahan batuan-batuan berlapis dan pada bagian atasnya datar seperti meja menjadikan fenomena alam yang menakjubkan. Ada pula lapisan batuan sepanjang tebing kawah yang berlapis-lapis.



Yang tak bisa dilewatkan adalah keindahan yang bisa dinikmati di puncak Gunung Tambora, dengan pemandangan kawah, lautan, Pulau Satonda, padang pasir luas yang indah. Gunung Tambora termasuk salah satu gunung yang indah di Indonesia, tentunya dengan fenomena alam yang menakjubkan.


Gunung Tambora secara administratif terletak di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, dan secara geografis terletak antara: 8o - 25'LS dan 118o - 00' BT dengan ketinggian antara 0-2.851 mdpl, gunung tersebut merupakan gunung tertinggi di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kawasan Gunung Tambora terbagi menjadi dua lokasi konservasi yaitu: Tambora Utara Wildlife Reserve dengan luas 80.000 hektar dan Tambora Selatan Hunting Park dengan luas 30.000 hektar.


Tambora Utara Wildlife Reserve dengan ketinggian antara 1.000 sampai 2.281 mdpl sebagai kawasan yang penting karena berfungsi sebagai daerah tangkapan air Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, dan sangat berpotensial untuk menjadi tempat wisata karena ciri-ciri geologi-nya sangat berbeda dengan kawasan lainnya. Juga sebagai tempat perlindungan satwa (wildlife sanctuary). Tambora Selatan Hunting Park dengan ketinggian antara 500 sampai 2.820 mdpl sebagai kawasan yang dikelola secara khusus untuk daerah berburu. Kawasan Gunung Tambora sangat kaya dengan kekayaan flora maupun fauna. Jenis-jenis flora yang paling banyak dijumpai, antara lain: alang-alang (Imperata cylindricca), Dendrocnide stimulans, Duabanga molluccana, Eugenia sp, Ixora sp, edelweiss (Anaphalis viscida), perdu, anggrek, jelatan/daun duri. Jenis-jenis fauna yang banyak dijumpai, antara lain: menjangan/rusa timor (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa), kera berekor panjang (Macaca fascicularis), lintah (Hirudo medicinalis), agas.


***
Gunung Tambora termasuk tipe gunung strato vulkanik, gunung tersebut diperkirakan mencapai lebih dari 4.000 mdpl terkenal dengan peristiwa pada tanggal 5 April 1815 letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah. Letusan dahsyat gunung tersebut telah menyemburkan materi paling banyak dalam sejarah manusia, diperkirakan menyemburkan sebanyak 36 mil kubik, menciptakan kawah dengan diameter tujuh kilometer dengan kedalaman kawah 800 meter, dan keliling kawahnya 16 kilometer, mengalahkan letusan Gunung Krakatau yang menyemburkan lima kilometer kubik dan letusan tersebut menimbulkan lubang kawah selebar lima kilometer dengan kedalaman kawah 500 meter. Ledakan dahsyat tersebut menyebabkan Gunung Tambora dengan ketinggaian di atas 4.000 mdpl menjadi 2.851 mdpl.

Debu halus yang disemburkan dari letusan Gunung Tambora menutupi langit di atas wilayah yang luas sekali dengan radius 200 mil yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi hujan abu di kawasan seluas 900 mil. Hal yang menarik dari peristiwa ini adalah lapisan debu yang menyembur ternyata telah menghambat sinar Matahari untuk mencapai Bumi yang mengakibatkan terjadinya perubahan musim secara tiba-tiba di beberapa bagian Bumi dan temperatur udara mengalami perubahan drastis di dunia. Pada musim panas tahun 1815 di belahan Bumi sebelah utara menjadi musim dingin karena kurangnya sinar matahari yang mampu menembus ke Bumi. Masyarakat di Pulau Sumbawa mengalami kelaparan. Tanah pertanian tertutup debu dan tidak bisa diolah sehingga dalam waktu singkat sekitar 700.000 sampai 80.000 penduduk tewas karena kelaparan yang melanda Pulau Sumbawa dan juga Pulau Lombok.


Sebelumnya pernah terjadi pula letusan Gunung Tambora pada tahun 1812 sehingga penduduk Sanggar menyaksikan kejadian tersebut, walaupun tidak sedahsyat tahun 1815. pada tanggal 5 April 1815 dentuman letusan gunung ini terdengar sampai ke Jakarta (1.250 kilometer) dan Ternate (1.400 kilometer). Hujan abu pertama jatuh di Besuki, Jawa Timur. Pada tanggal 10 dan 11 April 1815 dentuman letusan Gunung Tambora terdengar sampai ke Pulau Bangka (1.500 kilometer) dan Bengkulu (1.775 kilometer) dan gempa bumi yang terjadi bersamaan dengan letusan gunung ini terdengar sampai Surabaya (600 kilometer) dan mengakibatkan 92.000 orang meninggal dunia. Jumlah ini lebih banyak daripada jumlah korban letusan Gunung Krakatau yaitu sejumlah 36.000 orang.


***
KALAU melakukan pendakian ke Gunung Tambora sebaiknya melalui jalur resmi, yang relatif lebih aman dari jalur lain, untuk menuju ke Dusun Pancasila dengan menggunakan armada darat dari Cabang Banggo (baca: cabang Mbanggo) Kabupaten Sanggar dapat ditempuh selama dua jam 15 menit. Para pendaki sebaiknya menginap di basecamp Bapak Lewah, Kepala Dusun Pancasila, atau menginap di rumah Bapak M Yusuf (babe), seorang guide pendakian Gunung Tambora yang sangat berpengalaman mengenai seluk-beluk dan sejarahnya Gunung Tambora. Dari Dusun Pancasila menuju ke Pos I dapat ditempuh selama satu jam, di Pos I tersebut terdapat sebuah pondok dan sekitar 20 meter terdapat mata air berbentuk sumur dengan airnya yang jernih, Kemudian dari Pos I menuju ke Pos II dapat di tempuh selama satu jam, di pos tersebut terdapat tempat datar untuk beristirahat dan sekitar lima meter dari tempat tersebut terdapat sungai kecil yang mengalirkan air jernih. Dari Pos II melanjutkan perjalanan kembali menuju ke Pos III dengan melalui hutan yang lebat dapat ditempuh selama tiga jam. Di Pos III tersebut ada tanah datar luas, terdapat pula pondok untuk tempat berteduh para pemburu rusa timor, adapun cara berburunya yaitu dengan menggunakan anjing sebagai pelacak dan menggunakan senapan laras panjang. Di Pos III tersebut merupakan mata air terakhir untuk mengambil air.


Dari Pos III menuju ke Pos IV melalui medan hutan lebat dan ditempuh selama satu jam, kemudian dari Pos IV menuju ke Pos V dapat ditempuh selama 30 menit, kemudian dari Pos V menuju ke Bibir Kawah dapat ditempuh selama dua jam, dengan melalui vegetasi yang beralih dari vegetasi hutan ke vegetasi Edelweiss dan dari vegetasi Edelweiss menuju padang pasir. Selama perjalanan kita akan menikmati keindahan alam yang menakjubkan dengan melalui jalur berpasir di kanan-kirinya melihat keunikan bunga Edelweiss yang berbeda dengan di gunung-gunung lain yaitu bunga tersebut sangat pendek sekitar 0,5 meter sampai 1,5 meter dengan letaknya masing-masing berjauhan sekitar dua meter sampai 100 meter. Juga adanya jenis rerumputan dengan tinggi sekitar satu meter sampai 1,5 meter membentuk barisan-barisan.


Selain itu ada batuan berlapis yang banyak dijumpai di padang pasir dengan bagian atasnya datar seperti meja yang lebar. Batuan berlapis tersebut telah mengalami proses perlapisan batuan akibat dari adanya lelehan lahar setelah berkali-kali gunung tersebut meletus. Lelehan lahar itu kemudian mengalami proses pembekuan serta proses pembatuan. Dalam kurun waktu lama pada bagian-bagian lapisan batuan yang kurang keras mengalami proses pengeroposan (korosi) kemudian hancur menjadi hamparan pasir atau sering disebut padang pasir. Sedang pada bagian-bagian batuan yang keras menjai batuan yang berlapis-lapis dan pada bagian atasnya datar dengan jarak masing-masing batu sekitar 10 meter lebih dengan ketinggian yang sama pada masing-masing batuan berlapis tersebut.

Puncak Pangrango terletak dalam hutan berlumut, jadi kita tidak bisa melihat pemandangan yang menarik, tetapi jika kita turun sedikit ke arah barat terdapat hamparan bunga Edelweis Jawa yang indah di area seluas 5 Ha, yang disebut Alun-Alun Mandalawangi.

Dalam perjalanan ke Gunung Gede dari Kandang Badak, pada ketinggian 2.475 m.dpl akan kita jumpai persimpangan kekiri menuju Kawah Gunung Gede. Kawah Lanang akan kita jumpai disisi kiri jalan setapak ini, sementara Kawah Ratu (2.750 m.dpl) dan Kawah Wadon disebelah kanan. Disekitar kawah ini akan kita jumpai bunga Edelweis Jawa, dan kadang juga burung Rajawali Jawa (Spizaetus bartelesi) yang terbang melintasi kawah.

Mendekati puncak Gunung Gede pepohonan semakin berkurang, kemudian hanya lahan gersang yang belum ada tumbuhan, hal ini diakibatkan kegiatan kawah berapi Gunung Gede, yang seringkali mengeluarkan gas berbau belerang. Sesampai di puncak Gunung Gede kita dapat menyaksikan pemandangan yang sangat indah karena kita bisa melihat kawah-kawah disekitar puncak, Gunung Pangrango dan Gunung Gumuruh serta pemandangan kota-kota, gunung-gunung di Jawa Barat, dan Selat Sunda dikaki-kaki langit.

Dari puncak Gunung Gede bila kita turun kearah Tenggara kira-kira 1 jam perjalanan, kita akan menjumpai dataran seluas 50 Ha yang terletak di antara Gunung Gede dan Gunung Gumuruh, yang sebagian besar dataran ditutupi oleh bunga Edelweis Jawa, tempat ini dinamakan Alun-Alun Surya Kencana (2.800 m.dpl). Tempat ini sangat disukai oleh para pendaki sebagai tempat berkemah. Pada musim hujan, disini terdapat mata air.

Dari Alun-alun Surya Kencana kita dapat meneruskan perjalanan turun kearah kiri (Utara) menuju Pos Gunung Putri di Cianjur atau kearah kanan (Selatan) menuju Selabintana di Sukabumi.

Perjalanan kira-kira 3.5 jam dari gerbang, kita akan sampai di Kandang Batu atau Lebak Saat (2.220 m.dpl). Ditempat ini banyak dijumpai batu yang berasal dari letusan Gunung Gede. Disini juga dapat dijumpai sebuah sumber air, juga tanah datar dimana kita bisa mendirikan tenda.

Setelah 4 jam perjalanan dari Gerbang, kita akan sampai di Kandang Badak (2.395 m.dpl), dimana terdapat jalan bercabang, yang kekiri menuju puncak Gunung Gede (2 km lagi, 2 jam perjalanan), sedang yang ke kanan menuju ke Puncak Pangrango (3 km lagi, 3 jam perjalanan). Di Kandang Badak juga terdapat sumber air dan kita dapat berkemah. Kandang Badak berupa dataran yang terletak pada punggungan yang menghubungkan Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Disini kita bisa menginap di shelter yang sudah bagus.

Kemudian akan kita jumpai Rawa Gayang Agung (1.600 m.dpl), yang merupakan padang rumput dan tanaman perdu. Pada ketinggian 1.628 m.dpl, kita akan sampai pada dipertigaan yang dinamakan Panyancangan Kuda, kira-kira 1 jam perjalanan dari Gerbang (km. 2,3). Berjalan kira-kira 10 menit dari Panyancangan kuda ke arah kanan, akan kita jumpai Air Terjun Cibeureum yang indah. Air Terjun Cibereum (1.675 m.dpl) tingginya antara 40 - 50 meter, terdiri dari air terjun utama (Curug Cidendeng), juga ada dua air terjun yang lebih kecil (Curug Cikundul dan Curug Ciwalen). Air terjun ini juga salah satu tempat wisata yang paling sering dikunjungi di Kawasan TNGP. Bila kita ingin memasuki kawasan air terjun Cibeureum harus membeli tiket masuk.

Selanjutnya kita sampai di Batu Kukus ( 1.820 m.dpl), dimana dapat kita jumpai sebuah pondok untuk berteduh. Berjalan sampai pada ketinggian 2.150 m.dpl (kira-kira 2.5 jam perjalanan dari gerbang), kita akan sampai pada Pondok Pemandangan, dimana kita bisa beristirahat dan menikmati pemandangan sekitar. Hanya 5 menit berjalan dari pondok ini kita akan menjumpai air panas yang berasal dari sumber dekat Kawah Gunung Gede, dimana suhu air dapat mencapai 50 · C.
Jalur Cibodas
Perjalanan dimulai melalui sebelah pintu gerbang Kebon Raya Cibodas (1.425 m.dpl), dengan mengikuti jalan disamping lapangan golf, dan kemudian kita berbelok ke kiri, sedikit mendaki dan menjumpai Kantor Resort TNGP Cibodas, yang merupakan gerbang TNGP, dimana kita mendaftar dan membayar tiket masuk. Kita kemudian mengikuti jalan setapak yang sudah diperkeras, dan disepanjang perjalanan dipenuhi rambu dan pal kilometer yang memudahkan perjalanan. Kita menuju Kandang Badak dan melalui hutan tropika yang indah. Kira-kira 1,5 km perjalanan dari Gerbang, kita akan dapati sebuah danau kecil yang dinamakan Telaga Biru (1.500 m.dpl).

Tubuh-tubuh bersimbah darah menggelepar, berserakan, dan tumpang tindih memenuhi padang rumput itu. Aku tak tahu mereka telah menjadi mayat atau tidak. Di puncak langit, kusaksikan sendiri seratus ribu serdadu berbaju besi dan berkepala batu menghunus pedang di tangan kiri dan menaruh moncong senapan di atas kepala para perempuan berkerudung warna-warni. Kendati kepala mereka menunduk, mereka tetap mengepalkan tangan kanan mereka dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Bisik hati mereka begitu jelas terdengar, memenuhi langit dengan gema menggelegar, “Allah Maha Besar!”

Sementara itu, para serdadu tetap mengancam dengan berbaris membentuk bintang, dan berdiri tegak sambil menyanyikan lagu The March of The People dengan suara lantang. Dadaku sebak dan sesak. Jika waktu adalah pedang, maka tiba-tiba waktu seperti berhenti menebas segala sesuatu.

Ketika aku terbangun dari mimpi buruk itu, Kepala Biara tengah duduk di samping, memandangiku. Ibu memohon kepadanya agar aku pulang hari itu juga.

Namaku Wang. Dan, Ma, satu dari perempuan berkerudung pelangi itu, adalah kekasihku. Cinta pertamaku. Juga cinta terakhirku.

Kami pertama kali bertemu di padang rumput itu tiga belas tahun lalu. Waktu itu, umur kami baru enam belas tahun. Bunga-bunga liar belum tumbuh dan mekar. Namun, Ma, telah tumbuh dan mekar di padangku.

Sejak mata saling beradu dan bibir saling melempar senyum, kami berdua terjatuh ke dalam Lembah Terlarang. Setiap senja duduk di sana, mengagumi padang rumput itu. Betapa padang rumput itu bagai permadani sutra yang terbentang luas hanya untuk kami.

"Aku bukan gadis Han," katanya suatu senja, seraya mengeluarkan sehelai kain sutra berwarna biru dari balik sakunya.

"Aku juga bukan pemuda Muslim," kataku sambil menatapnya. “Tapi, kata para pujangga, cinta itu buta."

Dia tersenyum, begitu manis, kemudian mengutip sepenggal sajak Li Bai yang terkenal. “Oh, engkau angin musim semi yang mengusik, engkau dan aku tak saling kenal, mengapa tanpa sebab-musabab – menyelinap memasuki tirai dan kelambu?"

Aku tertawa kecil mendengar penggalan sajak itu. Aku merebut kain sutra dalam genggamannya dengan lembut. Aku melipatnya menjadi segitiga, kemudian menyelimuti rambut hitamnya. “Pakailah,” pintaku. “Jika angin bertiup terlalu kencang, rambutmu yang indah tak akan ternoda oleh debu.”

Dia pun membiarkan kepalanya kubungkus kerudung sutra itu. Dan, kami pun duduk cukup lama menunggu bunga-bunga liar tumbuh di padang rumput itu.

Tiga belas tahun kami menunggu. Tetapi, mereka selalu layu sebelum menjadi kuncup. Telapak sepatu para serdadu telah menyebabkan mereka terbunuh. Dan, Ma, letih menunggu. Ketika para serdadu mengusir kami dari Lembah Terlarang, dia memberikan kerudung biru itu untukku. Dia tidak pernah lagi muncul. Sejak saat itulah aku juga pergi, melenceng ke biara, menghancurkan harapan ibu.

Aku masih ingat hari-hari terindah kami ketika Lembah Terlarang seperti surga dan bumi hanya milik kami berdua.

“Padang rumput ini seperti sajadah yang terhampar di rumahmu. Sajadah yang katamu ditenun di negeri kita, lalu dijual di Mekkah,” kataku memandangi padang rumput. Padang rumput kami.

“Kita pun bisa bersujud di sini. Tuhan pasti akan mengabulkan doa kita.”

“Doa apakah yang kaubaca ketika kau bersujud di atasnya? Apakah kau mendoakan aku? ”

Dia tergelak. “Aku bertanya kepada-Nya, apakah boleh aku mengalami reinkarnasi? Aku ingin kita bertemu kembali di tapal batas Dukha, lalu bersama-sama mencapai Nirwana.”

Aku tersenyum. “Kalau begitu, jangan biarkan aku pergi ke Lhasa untuk mencukur habis rambutku, hanya demi melupakanmu. Sebab, aku tak ingin terlahir kembali menjadi bunga liar di padang ini untuk menunggumu.”

Dia tertawa riang, membalas tatapanku. “Baiklah, tak akan kubiarkan kau hidup selibat, kecuali aku telah menjadi pengantinmu.”

Aku tertawa dan mengerling. “Bagaimana kalau Tuhan menjawab pertanyaanmu? Jika kau diperkenankan Tuhan, kau ingin menjadi apa pada kehidupan yang akan datang?”

Dia tersenyum seraya memandang kaki langit. “Aku ingin menjadi eideilweiss,” katanya.

Kemudian, dia menoleh dan menatapku. “Aku ingin abadi di padang bungamu,” bisiknya.

Aku pun teringat sepenggal sajak Du Quiniang. "Menasihatimu...jika bunga sedang mekar, andai boleh dipetik dan disunting, engkau harus memetiknya, jangan tunggu sampai bunga telah tiada, baru sia-sia kau memetik ranting hampa," bisikku.

Wajahnya merah padam. Seperti buah persik yang telah ranum. Aku mengabadikannya dalam benakku.

Malam yang gelap dan pekat telah membawaku jauh ke dalam sebuah lorong, bangsal-bangsal yang suram, aroma-aroma kimiawi yang menyengat hidung, dan suara samar-samar yang merintih.

“Siapa itu?” Desahnya terlalu pelan begitu mendengar suara kakiku melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Aku memandangi wajahnya. Dia telah benar-benar-benar memucat pada saat itu. Tetapi, aku masih mengaguminya. Mengagumi senyuman yang masih menghiasi bibirnya. Bibir yang masih merah jambu. Seperti masih tersisa sekuntum mawar merah pada wajahnya yang tampak semakin membeku, diliputi selapis demi selapis salju.

“Wang Wei. Kau datang.” Burung-burung camar seperti keluar dari dalam jiwanya. Terbang. Bermigrasi ke belahan bumi lain yang lebih hangat.

Aku mengutip kembali penggal pertama sajak Rindu di Musim Semi-nya Li Bai. Sajak yang pertama kali dia kutip untukku. “Oh, rumput musim semi tanah Yan, baru hijau tua seperti sutera; sementara pohon murbeiku di tanah Qin, terlebih dulu merunduk berat, tangkai lunaknya hijau muda. Ketika hari-hari engkau rindu kembali rumah, hari-hariku jua rindu dendam padamu. Oh, engkau musim semi…”

“Kau benar-benar mencukur rambutmu. Tak tersisa sehelai pun untuk aku,” lirihnya. Aku masih memandangi wajahnya. Dia semakin pucat, membiru, memutih, lalu menjadi begitu kelabu. Dan, aku masih juga mengaguminya. Mengagumi matanya yang masih bersinar-sinar. Seperti masih ada bintang terang di sana, menggantung di langit, di antara gumpalan awan kelabu.

Aku tertawa pelan, menatapnya dalam-dalam, dan menggenggam tangannya erat-erat. “Tidak. Aku menyimpan sehelai untukmu dalam kerudung biru darimu.”

“Maafkan aku.” Dia merintih dan balas menatapku. Kami saling memandang, membiarkan waktu berhenti seketika dalam keheningan.

“Mengapa para serdadu ingin merampas sajadahku? Mengapa mereka ingin merampas tasbih di tanganmu?" gumamnya tiba-tiba. Dia menoleh, mengamati butir-butir tasbih yang kukalungkan di leher.

"Nenek moyang mereka dan kita berdua sama," gurauku.

“Temujin?” tawanya berderai.

“Kalau saja kita bisa punya anak laki-laki, aku pasti akan memberinya nama Zheng-he.”

Dia tertawa lirih. “Kau seharusnya menjadi Kaisar Ming pertama. Aku akan menjadi permaisurimu. Bayangkan, kita berdua duduk di atas singgasana, dikelilingi para pendekar dan para hulubalang, dengan diberkati para biksu dan ulama.” Aku melihat padang rumput kami di matanya. Lembah Terlarang begitu lapang tanpa para serdadu bersenjata laras panjang.

“Tetapi, aku berjanji, aku tidak akan mempunyai selir,” gurauku lagi. Aku melihat padang rumput kami pelan-pelan berbunga di mata dan bibirnya.

“Kau tahu. Aku ingin hidup abadi. Seperti edelweiss. Kalau pun tidak, aku ingin terlahir kembali. Menemanimu menunggu padang rumput kita menumbuhkan bunga-bunga. Melahirkan anak-anakmu. Tak peduli seperti apa wajah mereka, atau bendera apa yang mereka kibarkan. Melihat mereka bermain di padang bunga kita.”

“Aku akan membiarkan seluruh rambut di kepalaku tumbuh kembali demi menunggumu di padang rumput itu."

Dia tersenyum. “Kalau aku mati, aku akan merindukanmu. Bagaimana denganmu? Kitab suciku bilang, aku tidak akan benar-benar mati. Aku masih hidup dan berkeliaran, hanya saja kau tak bisa melihatku lagi.”

“Aku tidak ingin kau mati. Aku tidak ingin merindukanmu.” Mungkin, suaraku terdengar hampa.

Ma berbisik dengan tersenyum, “Hari ini adalah hari terakhir kita. Aku bilang pada-Nya, biarkan menunggumu datang.”

Kutahan air mataku, kugenggam erat tangannya. “Kau percaya pada-Nya. Kau pasti akan sembuh. Luka-lukamu akan pulih kembali. Dan, Dia akan memberikanmu kehidupan yang panjang di dunia ini.”

Ma tersenyum. “Apakah para raja tidak pernah merasa puas dengan luas kebun dan hutan yang mereka miliki?”

“Jika tidak, maka Tembok Besar tak perlu dibangun.”

“Dan, kami tak perlu menuntut untuk menatap langit dengan cara kami sendiri.”

“Ya. Seperti kau.”

“Seperti orang-orang Kurdi yang tersesat di negeri sendiri. Seperti orang-orang Rohingya yang diusir dari kampung halaman sendiri. Seperti orang-orang Patani yang tak punya raja di kerajaan sendiri. Seperti...”

“Seperti aroma tubuhku. Apakah kau tak menghirup sisa nafas Dalai Lama pada kainku?” tukasku.

Ma tersenyum lebar. “Boddhisatva-ku. Jika kau lebih dulu mati, apakah kata-kata terakhirmu?”

Aku terdiam, berusaha menerobos masuk ke dalam matanya. “Aku mencintaimu.” Bunga-bunga seperti keluar dari mulutku. Mereka mengecup bibir Ma yang merah jambu.

Ma terdiam. Mungkin puas mendengar jawabanku. Lalu, dia merintih beberapa kali. Tidak lama kemudian Ma memejamkan matanya tanpa berkata sepatah kata apapun. Dia hanya menggenggam erat tanganku. Dia hanya tersenyum sebentar, sebelum benar-benar terlelap.

Aku menyusuri lorong yang gelap lagi, aroma-aroma kimiawi yang memabukkan isi perutku, dan dinding-dinding suram sepanjang koridor yang seolah-olah selalu berbisik kepadaku, mengabarkan datangnya malaikat-malaikat pencabut nyawa. Seperti yang diyakini Ma seumur hidupnya. Mereka ada di mana-mana di sekitar situ. Salah satunya mungkin akan pergi ke sisi Ma. Aku berlari ketakutan, benar-benar ketakutan, membiarkan kakiku masuk ke dalam sebuah ruangan terang-benderang. Nama-nama Tuhan yang Maha Indah diukir di sana. Aku menangis ketakutan. Benar-benar menangis. Memohon dengan perasaan nyaris putus asa.

“Allah, Tuhan kekasihku, jangan ambil kekasihku sekarang. Dia masih muda. Dia masih bisa melahirkan sepuluh orang putra dan dengan begitu darahnya tidak akan mengalir sia-sia…”

“Mengapa kau tidak pernah mencariku lagi, malah pergi mengembara dari puncak ke puncak di Himalaya?” Terngiang-ngiang kembali suara Ma pada hari kedua kami di sempadan dua alam

“Aku mengembara dan mengumpulkan puisi-puisi yang indah untukmu.”

“Seandainya para raja dan serdadu setiap hari mendengar para penyair membaca sajak cinta.”

“Aku masih ingat puisi Sa’di yang pernah kaubacakan untukku.”

“Para penyair Sufi mengagumi orang-orang seperti engkau.”

Aku tersenyum. Kukutip sepenggal paragraf dari Gulistan. “Sebuah taman yang hijau sangat menyenangkan. Dia yang benar-benar memahami akan mengatakan hal itu. Sesungguhnya rasa tertarik dan cinta pada hamparan hijau, akan selalu memuaskan hati pencinta; Tamanmu adalah tempat tidur yang nyaman. Semakin engkau melebarkan, semakin mereka akan tumbuh.”

Dia tersipu. “Tidurlah, dan jangan kembali bertapa di dalam gua.”

“Hanya jika kau mau kembali ke Lembah Terlarang.”

“Kakekku telah gugur dengan sebutir peluru di kepalanya. Dia adalah putra dari para kekasih di Lembah Terlarang seperti kita,” kenangnya.

“Seorang Cina sejati yang selalu mengenakan tutup kepala dari Mekkah,” gumamku, ikut mengenang wajah tua renta yang separuh darahnya mengaliri tubuh kekasihku. Dia adalah anggur dalam cawan dengan campuran anggur dari kebun-kebun di setiap penjuru Cina.

“Dia mencintai seorang wanita Uyghur seumur hidupnya. Nenekku. Hari itu, mereka berdua berdiri dengan gagah tanpa perisai antipeluru, tanpa senjata,” ujarnya.

“Sejak Tuhan menciptakan Lembah Terlarang, leluhurku telah berpindah-randah, seluruh Cina dan Asia Tengah. Tetapi, Xin Jiang selalu menjadi kampung halaman kami. Kami akan selalu kembali. Meski Jalan Sutra telah menjadi kenangan. Meski anak-cucu kita telah lupa bahwa mereka tidaklah murni berdarah Han atau Hui, Chin atau Mongol, Manchu atau Salar, Buryat atau Uzbekh, tidak, tidak. Untuk itulah Lembah Terlarang ada.”

“Kalau begitu, biarkanlah perjalananmu berakhir di sini. Bersamaku. Aku pun tak akan kemana-mana lagi. Aku telah kembali hanya untukmu.”

Dia tersenyum. “Seperti kata Sa’di juga. Aku tidak bisa menunda perjalanan lain yang telah menungguku.”

Jendela-jendela yang tadi ia buka, tiba-tiba ia tutup lagi. Kemuraman yang sejenak memudar, terbit kembali pada suaranya. Kami saling diam membisu. Aku tidak mau membantahnya untuk saat sekarang. Aku merasa lebih baik membelai rambutnya. Memandangi matanya yang masih bercahaya. Menatap bibirnya yang masih merah.

Aku kembali menyusuri lorong dalam kegelapan malam, koridor yang muram, kembali mencium bau obat-obatan, formalin, disinfektan, semua aroma penderitaan dan kematian itu. Samsara.

Di ujung lorong, aku duduk, sendirian, membuka halaman demi halaman kitab Sutra Hati. Dalam kemuraman dinding-dinding di lorong ini, kedukaan dalam ratapan di langit-langit bangsal ini, dan keheningan di ruangan penuh kaca ini. Aku cemas, menunggu para dokter dan para perawat menolong Ma menghadapi komplikasi pascaoperasi. Beberapa peluru telah melubangi tubuhnya, tetapi dia dapat bertahan hidup sampai aku muncul.

“Wang Wei? Kaukah itu?” Sebuah suara memanggilku dari kejauhan. Sosok itu kemudian mendekat.

“Kapan kau akan ditahbiskan?” tanyanya.

“Dokter Li.” Aku menatap sahabat lamaku itu dengan penuh harap. “Bagaimana keadaannya?”

Dia mendesah. “Kau pernah dengar, mereka percaya bahwa orang-orang yang membela tanah air dan gugur, maka mereka yang gugur itu hidup bahagia di surga?”

Aku mengangguk. Aku kehilangan kata-kata.

“Kau sudah dengar bencana alam di Yunnan?”

Aku menggelengkan kepala.

“Setiap kali bumi memuntahkan peluru ke langit, dan para serdadu merenggut nyawa orang-orang tak berdosa, langit kehilangan cahayanya, dan bumi menjerit meratapi kematian mereka,” jawabnya dengan suara tercekat.

Oh! Jernih sekali dalam ingatanku. Tuhannya telah menjemputnya pada subuh itu. Jumat yang sunyi dan lengang. Dengan setetes embun di bibirnya yang merah jambu, dan sebongkah es pada kedua belah tangannya, nyawanya menguap di udara, meninggalkan jejak bau wangi edelweiss. Keberaniannya, keberanian kakek dan neneknya, mengingatkan aku pada saudara-saudaraku di Myanmar. Betapa hari itu bagiku langit dan bumi ikut bersenandung paritha bersamaku.

“Sayangku, kita lahir pada zaman yang gila, silsilah yang kacau-balau, dan negeri yang terlalu sempit untuk satu setengah milyar anak-cucu Adam. Kalau tidak, kau pasti masih hidup. Dan kita bisa bercinta seperti kekasih-kekasih yang lain.” Aku bergumam. Kupandangi tanah makamnya yang masih basah dan bertabur bunga-bunga.

“Sa’di bilang, Jika Majnun dan Laila hidup lagi. Mereka mungkin akan tertarik dengan dongeng cinta yang terjadi saat ini. Dan, biar kukatakan padamu, aku tak peduli. Sekali pun jika Romeo dan Juliet lahir kembali di tengah-tengah Palestina dan Israel. Atau Khusraw dan Shirin menjelma kembali di antara ledakan bom di Irak dan Afghanistan.” Aku berteriak tanpa suara. Aku menjerit tanpa lengkingan.

Hari itu, setelah semua orang meninggalkan tanah pemakaman semua korban kerusuhan, aku kembali ke padang rumput tempat kami biasa menghabiskan senja. Berdiri dari kejauhan sudah cukup bagiku untuk memandangi padang rumput kami berdua.

“Kita akan hidup bersama-sama di kehidupan yang akan datang,” seruku pada sekalian alam. Harum edelweiss tiba-tiba menyeruak, menggantikan aroma bahan-bahan kimia yang masih melekat pada kainku. Aroma yang seharian membuatku ingin muntah. Betapa harum semerbak itu membuatku segar kembali.

Kupandangi padang rumput kami dengan mata berbinar-binar. Betapa menakjubkan! Bunga-bunga liar beraneka warna telah tumbuh di sana.

“Itu padang bunga kita, Wang Wei. Padang Bunga Wang dan Ma.” Terngiang-ngiang kembali senandung cerianya. Kupandangi hamparan padang bunga kami dengan membayangkan wajahnya. Kerudung birunya. Mata sipit Bortu yang diwarisinya. Hidung mancung Shahrabanu yang diwarisinya. Bibir merah delimanya, yang tak pernah kucicipi kelezatannya. Mungkin seperti daging panggang yang telah lama haram bagiku.
Warna bunga yg paling cantik itu adalah bunga yg warnanya putih.
Mungkin kebanyakan orang lebih memilih warna merah atau pink, karena katanya itu melambangkan cinta. hmm.. tapi menurut buku, “cinta si merah” itu kesannya terlalu sensual dan emosional. Berbeda dengan “cinta si putih”, --di balik kesederhanaannya…warna putih itu melambangkan ketulusan dan kesucian.

Kalau diperhatikan, mawar putih, lily putih, tulip putih, anggrek putih, kamboja putih, melati putih, semuanya selalu cantik dan manis dipandang. Sayangnya ga berapa lama bunga-bunga itu akhirnya layu juga. Tapi ada satu bunga putih yg kecantikannya abadi, walaupun ga secantik mawar atau seharum melati, yupz!! kita semua tahu namanya bunga Edelweiss.

Kalo ga salah bunga ini diambil dari bahasa Jerman, edel = noble (mulia), weiss = white (putih). Dari namanya, bunga ini melambangkan keagungan, kesucian, keabadian. Selain cantik, bunga imut-imut ini juga terjaga di puncak gunung, limited edition, sulit didapatkan orang, cuma pendaki-pendaki tangguh aja yg bisa liat bunga ini, sayang yaa udah jauh-jauh cuma bisa diliat doang.. Kalo mau petik kudu lapor dulu sama polisi hutan, beribet juga prosedurnya (biar halal), kecuali kalo maksa petik, haram bo! sama aja kaya nyuri mangga tetangga, hehehe.

Pernah baca di novel “2 love” kalo bunga edelweiss ini ada dongengnya juga, semacam dongeng Putri Salju, dongeng cewe banget gitu, melankolis-melankolis gitu deh (“Termehek-mehek” kalo Trans TV bilang, hhhh). Katanya, bunga edelweiss itu bunganya peri salju / peri gunung. Once upon a time, ada kerajaan di puncak gunung yg dijaga oleh peri-peri salju, di sana terdapat istana yg dihuni oleh seorang Ratu Salju. Suatu hari, ada seorang pendaki (ganteng kayanya) yg sampai di istana itu dan bertemu dengan Ratu Salju hingga akhirnya keduanya saling jatuh cinta (duh, malu!! hihihi), akan tetapi peri-peri penjaga istana itu iri pada sang pendaki yg mendapatkan hati sang Ratu, sehingga segala macam cara dilakukan agar pendaki itu menjauh dari istana, tanpa sepengetahuan sang Ratu. Namun pendaki itu tetap tangguh berjuang sampai akhirnya dia terjatuh ke lembah jauh-jauh dari istana karena peri-peri salju itu. Sang Ratu Salju ga mengerti apa kesalahannya sampai pendaki itu pergi, dia sedih sampai akhirnya tahu kalo pendaki itu sudah menikah dengan seorang gadis kampung biasa.

Tanpa disadari, kesedihannya itu terlalu mendalam karena merasa dikhianati.. ia terus menangis dan menangis sampai tak terasa tiap tetesan air matanya berubah menjadi bulir-bulir kecil bunga yg cantik, bunga yg tak pernah layu, selalu abadi, seabadi “rasa” sang Ratu Salju pada sang pendaki.. rasa cinta dan mungkin rasa kecewanya.. Bunga itulah yang kita kenal dengan bunga Edelweiss.
Uhuhu… cengeng ya!! Namanya juga dongeng… Kalo mau tahu “rasa”nya, kayanya Kerispatih tahu deh… “Bila Rasaku Ini Rasamu”…



Bunga Edelweiss dalam beberapa tahun belakangan ini mulai sulit ditemukan di sekitar Gunung Sinabung Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara.

Ketua Generasi Muda Pecinta Alam (Gemapala), Yogi, di Medan, siang ini, mengatakan, bunga edelweiss yang hanya hidup diketinggian antara 2000-3000 meter dipermukaan laut (mdpl) ini sangat terkenal dikalangan pendaki gunung.

Bunga jenis ini juga biasa disebut kalangan pendaki gunung sebagai bunga abadi karena mesti telah dipetik dari pohonnya bunga ini tidak akan pernah layu.

Karena tidak pernah layu, bunga ini juga diidentikkan dengan lambang cinta. Maka tidak heran jika bunga ini banyak diburu oleh para pendaki gunung untuk dijadikan sebagai oleh-oleh untuk sang kekasih maupun sahabat dari hasil perjuangan menaklukkan ketinggian sebuah gunung.

Ia mengatakan, Gunung Sinabung yang memiliki ketinggian sekitar 2.412 mdpl dan merupakan salah satu gunung di Sumut yang menjadi idola para pendaki gunung untuk di daki.

Menurut cerita pendahulunya di Gemapala, sekitar tahun 80-an masih dapat ditemukan dengan mudah bunga jenis ini, baik di sekitar kaki Gunung Sinabung maupun di sekitar puncaknya.

"Namun sejak tahun 90-an jangan lagi berharap dapat menemukan bunga ini karena keberadaannya yang sudah sangat sulit untuk ditemukan. Saya sendiri meski sudah berulang kali mendaki Gunung Sinabung, tapi sampai sekarang belum sekalipun menemukan," katanya.

Menurut dia, sulitnya menemukan bunga itu dewasa ini, tidak terlepas dari ulah para pendaki gunung yang kerap memetik bunga ini untuk dibawa pulang, padahal bunga ini termasuk salah satu bunga yang dilindungi mengingat populasinya yang terbatas.

Padahal ada suatu falsafah dalam dunia pendaki gunung bahwa "Jangan meninggalkan sesuatu selain jejak kaki dan jangan membawa sesatu selain kenangan". Semboyan ini jadi terkesan sia-sia saja kalau ternyata masih banyak juga tangan-tangan jahil yang melakukan aksinya di puncak gunung.

"Kita boleh iri dengan para pendaki-pendaki dari Jawa yang lebih konsisten terhadap kelestarian lingkungan di puncak gunung. Tak heran juga kalau bunga edelweiss di beberapa gunung di Jawa masih cukup mudah ditemukan," katanya.

Seorang pengamat lingkungan, Irwansyah, mengatakan, keberadaan bunga itu tergantung pada para pendaki gunung, karena rakyat biasa tentu tidak akan mungkin mengoleksinya.

Sehubungan itu diminta kesadaran tinggi dan konsistensi dari pendaki gunung untuk tidak mengambil melainkan benar-benar hanya meninggalkan jejak dan membawa kenangan bila selesai mendaki, ujarnya.

(dat03/ann)

Saudariku, pernahkah kalian melihat taman bunga Edelweiss?Yang begitu anggun menghiasi taman bumi?Yang begitu teguh berdiri di tengah dinginnya suhu pegunungan. Kalaulah belum, izinkanlah aku berbagi keindahan tentang taman itu. Ya, walaupun baru kali pertama aku melihatnya…Semoga Allah masih memberi kesempatan untuk terus bertafakkur…

Juli 2002, sebuah pendakian penuh hikmah di gunung Gede-Pangrango saat Lomba Pramuka Tingkat V. Bertafakkur dari apa-apa saja yang telah Rabb-ku anugerahkan.

Lelah!pastilah terasa. Terjal, jurang yang curam, jalan yang berliku-liku senantiasa menjadi teman di perjalanan.Tapi tahukah saudariku, sungguh...Allah Maha Adil…Allah pun menjadikan pemandangan indah sebagai obat hati berlabel penawar lelah penyejuk hati. Subhanallah…Mata air yang airnya begitu sejuk menyentuh qolbu …Ya, Telaga Biru. Allah pun menjadikan air terjun air panas sebagai media perenungan diri. Betapa besar kekuasaan Allah…Subhanallah…Alhamdulilah…wa la illaha ilallahu Allahu Akbar...

Kembali pada bunga Edelweiss nan tumbuh anggun di taman bumi…Butuh perjuangan untuk langsung bertatap muka dengannya. Subhanallah…Maha Suci Allah yang menganugerahinya lingkungan pengunungan yang tinggi. Sehingga tidak sembarang orang dapat melihat, menyentuh, apalagi sampai memetiknya. Ya, butuh pendakian yang melelahkan. Edelweiss,kau beruntung!Hanya orang-orang yang memiliki keteguhan yang mampu berkunjung ke taman indahmu.

Allah pun menganugerahinya dengan kuntum-kuntum bunga indah yang tahan dengan berbagai perubahan lingkungan. Baik ketika suhu pegunungan turun dari biasamya, maupun ketika suhu naik beberapa derajat. Ya,dia tetaplah Bunga Edelweiss yang teguh pendirian. Pantaslah “Bunga Abadi” melekat erat memeluk keteguhannya.

Tak sabar hati ini ingin bertemu dengan bunga anggun penghias taman bumi itu…entah berapa jam kaki ini melangkah seraya terus bertasbih, bertahmid, bertakbir atas segala karunia-Nya. Di saat kaki ini benar-benar telah payah, namun ruang di hati dipenuhi ketenangan…tiba-tiba kakak seniorku memberitakan bahwa 300 meter lagi kami (rombongan) akan tiba di taman Edelweiss itu…

Subhanallah…Alhamdulilah…wa la illaha ilallahu Allahu Akbar...akhirnya tiba juga di taman impian…Taman yang begitu indah.Ya Allah…nikmat hidup yang begitu besar bagi manusia ‘kecil’ seperti aku.Fa biayyi aa laaa irabbikuma tukadzzibaan…Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan…Kaca di sudut mata kini menjadi bulir-bulir air yang membasahi wajah, memberi kesejukan dalam hati…Kurenungi diri berteman dinginnya es di hati yang kini pun mulai mencair.

Saudariku, ku tak ingin kau sekedar mengagumi keindahan dan keteguhan bunga abadi itu…Jika kau wanita, jadilah muslimah yang senantiasa teguh dan meneguhkan dalam menegakkan agama Allah. Yang tidak dengan mudahnya tersentuh tangan-tangan yang hanya mengagumi kecantikan fisikmu.Semoga kita menjadi muslimah-muslimah penghias taman bumi…Yang kelak kan menjadi bidadari di taman “bunga abadi” yang benar-benar abadi…taman syurga…insya Allah…

Tapi jika kau pria, jadilah seorang “pendaki” yang teguh berjuang demi melihat, menyentuh, dan memetik satu “bunga Edelweiss” di taman bumi ini…Berikhtiarlah…dan jangan lupa untuk juga meminta izin pada Sang Pemilik Bunga…Semoga kalian di anugerahi satu dari bunga itu…yang senantiasa memberi semangat ketika jalan dakwah mulai terasa melelahkan, yang senantiasa menegur sopan dengan untaian kalimat yang begitu menyejukkan hati ketika ada lisan, fikir, dan tindakan yang tidak sesuai syari’at, yang senyumnya senantiasa menjadi penawar lelah, yang dalam tiap untaian salamnya senantiasa terhias doa-doa keselamatan, yang sapanya senantiasa menjadi ‘virus rindu’ ketika kau berada jauh darinya, yang dalam setiap tindakan dan tutur katanya terhias kesopanan, yang hari-harinya dilalui dengan santun pada orang lain…semoga…

Senin, 02 November 2009


Mungkin bunga yang di samping ini sudah tidak asing lagi buat para pecinta alam. Tetapi, bunga keabadian tersebut tidak mempunyai arti apabila di usik oleh tangan-tangan usil yang memetik bunga keabadian untuk dibawa pulang. Apakah dengan memetik bunga keabadian ini sebagai tanda bahwa kita sudah mencapai puncak gunung tertentu????? tentu saja tidak, hal tersebut malah merusak ekosistem bunga tersebut.

Bunga Edelweiss ada beberapa macam warnanya, aneka macam warna ini tergantung habitat dimana bunga tersebut tumbuh. Seperti di gunung Arjuno dan Welirang, bunga ini berwarna sedikit kekuning-kuningan. Beda lagi di beberapa gunung lainnya, ada yang berwarna biru, sedikit kemerahan, tetapi yang paling umum bunga keabadian ini berwarna putih.

Tinggi pohonnya hanya sekitar 1/2-1 meter. Bunga ini umumnya terdapat di Jawa dan Sumatera. Edelweis merupakan tumbuhan pelopor bagi tanah vulkanik muda di hutan pegunungan dan mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya di atas tanah yang tandus, karena mampu membentuk mikoriza dengan jamur tanah tertentu yang secara efektif memperluas kawasan yang dijangkau oleh akar-akarnya dan meningkatkan efisiensi dalam mencari zat hara. Bunga-bunganya, yang biasanya muncul di antara bulan April dan Agustus, sangat disukai oleh serangga, lebih dari 300 jenis serangga seperti kutu, tirip, kupu-kupu, lalat, tabuhan, dan lebah terlihat mengunjunginya.

Mungkin penjelasan singkat diatas bisa memberi pengetahuan untuk para pendaki gunung dan pecinta alam yang sangat bangga memetik bunga edelweiss dan membawa pulang untuk di pajang di rumah mereka sebagai bukti menaklukkan gunung tertentu. Karena keserakahan mereka, bunga edelweiss terancam musnah untuk selamanya.